ⓒ Getty Images Bank

Pandemi COVID-19 memaksa banyak orang untuk tetap tinggal di rumah dan juga menyebabkan masalah keuangan rumah tangga. Akibatnya, pertengkaran dan masalah ekonomi memicu lebih banyak kasus perceraian di China, Amerika Serikat (AS), dan Inggris. Menurut sumber-sumber tentang isu yang terjadi di Korea Utara, hal serupa juga terjadi di negara komunis itu. Laporan itu mungkin tidak sepenuhnya terpercaya, tetapi tentu perlu diperhatikan karena menunjukkan adanya perubahan dalam masyarakat Korea Utara yang tertutup. 

Pasangan suami istri di Korea Utara hanya saat diperbolehkan untuk melakukan perceraiah berdasarkan keputusan pengadilan. Dengan kata lain, Korea Utara hanya mengakui perceraian yang dilandasi pada keputusan pengadilan. Setelah pengadilan memutuskan perceraian, pasangan suami istri kemudian dapat membuat kesepakatan untuk menentukan hal-hal tentang hak asuh anak dan pembagian harta.  Sebuah hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan dan latar belakang keluarga mencapai hampir setengah dari penyebab perceraian di Korea Uara. 

Angka perceraian sebenarnya cukup rendah di Korea Utara karena tidak mudah untuk bercerai. Kebanyakan orang tidak mampu membayar biaya besar untuk mengurus perceraian dan alasan perceraian yang dapat diterima sangat dibatasi. Apalagi masyarakat Korea Utara menganggap perceraian sebagai perbuatan tercela. Oleh sebab itu, sulit untuk menemukan kasus perceraian di Korea Utara.

Sepertinya tidak mudah untuk bercerai di Korea Utara. Apalagi masih ada persepsi negatif tentang perempuan yang bercerai di tengah masyarakat Korea Utara. Oleh sebab itu, wanita memang berada dalam posisi yang jauh lebih tidak menguntungkan daripada pria dalam hal perceraian. Selain itu, budaya patriarki masih cukup mendominasi di dalam hubungan perkawinan, sehingga wanita seringkali harus bertahan di bawah tindasan laki-laki untuk menghindari perceraian.