Para warga Korea Selatan korban kerja paksa masa penjajahan Jepang melanjutkan proses penjualan aset perusahaan Jepang, Mitsubishi Heavy Industries, yang telah disita.
Sebuah kelompok sipil yang mewakili para korban mengatakan pada hari Selasa (23/7/19) bahwa para korban mengajukan kepada Pengadilan Distrik Daejeon untuk penindak lanjutan atas aset-aset yang telah disita tersebut, menambahkan bahwa "ada batas di mana seseorang dapat menunggu".
Hal ini datang setelah Mitsubishi Heavy berulang kembali menolak permintaan para korban untuk bernegosiasi, meskipun Mahkamah Agung Korea Selatan telah mengeluarkan keputusannya pada tahun lalu dan memerintahkan perusahaan tersebut memberikan senilai 150 juta won kepada lima korban kerja paksa dan anggota keluarga mereka.
Jepang mengambil posisi bahwa semua ganti rugi untuk isu-isu tersebut telah diselesaikan dalam perjanjian bilateral tahun 1965 dan oleh sebab itu klaim tersebut tidak sah.
Kelompok tersebut menekankan bahwa isu kerja paksa adalah "sebuah kejahatan melawan hak asasi manusia yang disebabkan penjajahan Jepang di Semenanjung korea" dan bahwa "tanggung-jawab utama berada di tangan pemerintah Jepang.
Terkait berita tersebut, Ketua Kabinet Sekretaris Jepang Yoshihide Suga mengungkapkan kekhawatiran Tokyo atas langkah-langkah pencairan aset-aset perusahaan Jepang itu dan menambahkan bahwa Tokyo terus meminta tanggapan dari Seoul.