Indikator perekrutan perempuan di Korea Selatan terus diperbaiki selama sepuluh tahun, namun tingkat partisipasi kegiatan ekonomi oleh perempuan dan tingkat perekrutan tenaga kerja perempuan menunjukkan perbedaan besar dengan negara-negara maju.
Lembaga Penelitian Ekonomi Korea Selatan menyatakan pada hari Senin (21/10/19), bahwa empat indikator meliputi jumlah penduduk perempuan usia produktif, tingkat partisipasi kegiatan ekonomi oleh perempuan, jumlah tenaga kerja perempuan, dan tingkat perekrutan tenaga kerja perempuan mengalami kenaikan di antara enam indikator perekrutan perempuan dari tujuh negara dalam "Klub 30-50" mulai tahun 2008 hingga 2018.
"Klub 30-50" adalah tujuh negara yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari 30 ribu dolar AS dan jumlah penduduk di bawah 50 juta orang, meliputi Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, dan Korea Selatan.
Tingkat peningkatan jumlah penduduk perempuan usia produktif selama satu dasawarsa di Korea Selatan merupakan yang paling tinggi dengan angka 13,9 persen, dan disusul Italia, Inggris, Prancis, dan seterusnya. Sementara rasio peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan Korea Selatan selama periode yang sama juga yang paling tinggi.
Tingkat partisipasi kegiatan ekonomi oleh perempuan mengalami kenaikan dari angka 54,8 persen pada tahun 2008 menjadi 59,4 persen pada tahun lalu, namun angka itu masih lebih rendah daripada lima negara di urutan atas.
Tingkat perekrutan tenaga kerja perempuan di Korea Selatan naik sebesar 3,9 persen dibandingkan 10 tahun lalu, namun urutannya hanya berada di urutan ke-6 di antara tujuh negara. Selisih dengan negara urutan puncak, yakni Jerman, mencapai 14,9 persen poin.
Sementara itu, Jepang mengalami kenaikan drastis pada tingkat partisipasi kegiatan ekonomi oleh perempuan dan tingkat perekrutan tenaga kerja perempuan, masing-masing 9,1 persen dan 9,9 persen. Angka itu lebih tinggi dua kali lipat daripada angka kenaikan Korea Selatan.
Khususnya, rasio perekrutan tenaga kerja perempuan usia 35-44 tahun merupakan yang terendah diantara tujuh negara.
Lembaga tersebut menyatakan bahwa masalah penurunan tingkat perekrutan tenaga kerja perempuan pada usia akhir 30 hingga awal 40-an tahun, tidak terpecahkan karena terhubung dengan isu terputusnya karir kaum perempuan.
Seorang pejabat dari lembaga tersebut mengatakan bawah terputusnya karir perempuan harus dicegah melalui penerapan sistem kerja fleksibel dan pemberian insentif kepada perusahaan yang merekrut tenaga kerja perempuan, bersama pendidikan latihan kerja dan pemberian kerja paruh waktu yang berkualitas tinggi kepada perempuan yang mengalami pemutusan karir kerja.