Kementerian Luar Negeri Korea Selatan pada hari Rabu (21/04) mengatakan pihaknya tidak akan mengomentari keputusan pengadilan Korea Selatan tentang gugatan ganti rugi yang diajukan para korban nenek perbudakan syahwat di masa Perang Jepang.
Kementerian itu menambahkan pihaknya akan terus berupaya untuk memulihkan nama baik dan harkat para korban wanita perbudakan syahwat di masa Perang Jepang sesuai teori pendekatan yang berfokus pada korban.
Dilanjutkannya pula, masalah wanita perbudakan syahwat di masa Perang Jepang itu merupakan pelanggaran hak asasi para wanita dan pelanggaran HAM universal.
Kemeterian mendesak pemerintah Jepang bertindak sesuai semangat rasa tanggung-jawab dan maaf yang sebelumnya diungkapkannya.
Pemerintah Jepang tidak memberikan komentar atas keputusan pengadilan Korea Selatan itu secara langsung dan hanya mengatakan perlu menganalisis hal tersebut.
Namun, berbeda dengan saat keluarnya keputusan pengadilan Korea Selatan pada bulan Januari lalu, Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi dan pejabat tinggi lainnya mengungkapkan kegembiraannya dengan mengatakan keputusan pengadilan Korea Selatan adalah 'pantas'.
Namun, keputusan pengadilan tersebut diperkirakan membuat Jepang memperkuat pendapat dan sikapnya bahwa masalah kompensasi wanita perbudakan syahwat telah diselesaikan dengan Kesepakatan Korea Selatan dan Jepang tahun 2015.
Pemerintah Korea Selatan pun tidak mempertahankan sikapnya atas masalah ini.