Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa 'sistem gaji puncak', yang memangkas upah pekerja seiring penambahan usia, melanggar hukum.

Pihak Mahkahmah Agung menerangkan bahwa berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan, diskriminasi usia tanpa alasan yang rasional tidak dapat dilakukan terhadap seseorang yang telah atau akan bekerja, sehingga penerapan 'sistem gaji puncak' adalah sebuah diskriminasi.

Divisi I Mahkamah Agung pada hari Kamis (26/05) mendukung keputusan pengadilan yang lebih rendah untuk memberikan kompensasi 130 juta won dalam gugatan terkait upah yang diajukan oleh seorang pekerja yang telah pensiun terhadap Institut Teknologi Elektronik Korea.

Institut tersebut menerapkan 'sistem gaji puncak', di mana sejak tahun 2009, pihaknya mempertahankan peraturan usia pensiun hingga 61 tahun dan memangkas upah pekerja berusia 55 tahun ke atas.

Pengadilan mengevaluasi bahwa besaran upah penggugat berkurang, sementara beban tugas hampir tidak berubah.

Pada saat yang sama, pengadilan untuk pertama kalinya mempresentasikan standar untuk menentukan bagaimana sistem upah puncak dapat dibenarkan.

Mahkamah Agung menyatakan perlu dipertimbangkan apakah tujuan diberlakukannya 'sistem gaji puncak' dapat dibenarkan atau tidak, dan apakah beban kerja atau intensitas pekerjaan dikurangi sejalan dengan pemotongan upah.

Dilanjutkannya, perlu untuk mempertimbangkan secara komprehensif apakah pengurangan biaya tenaga kerja digunakan untuk tujuan awal pemberlakuan sistem serta sejauh mana pemotongan upah yang sebenarnya.

Dengan keputusan ini, terdapat kemungkinan meningkatnya tuntutan hukum dari pekerja terhadap perusahaan yang menerapkan 'sistem gaji puncak'.