Passing Rain
Pada suatu hari saat penyair besar Korea bernama Gosan Youn Sundo pergi ke Kuil Daeheungsa di Kota Haenam, tiba-tiba turun hujan deras. Meskipun diguyur hujan lebat, pemandangan alam di sana sangat indah. Gosan pun sampai lupa dengan rencananya untuk pulang. Menurut catatan sejarah, Gosan malah menukarkan tongkatnya dengan segelas arak untuk dinikmati. Saat itu Gosan pun menuangkan perasaannya dalam sebuah puisi berikut ini.
Ku naik ke loteng, terdengar suara air
Duduk undakan batu, awan pun menggumpal
Derasnya hujan menghentikan langkah sang musafir
Tapi pengunungan nan hijau ini telah jadi barisan puisi
Lagu berjudul Passing Rain yang dinyanyikan oleh Su:m sangat cocok didengarkan saat suasana hujan seperti puisi di atas, khsususnya saat hujan dingin turun di tengah hutan belantara.
Yeongsanhwesang 1 & 2
Pada masa Kerajaan Goguryeo hidup seorang cendekiawan bernama Wang Sanak yang dikenal sebagai pencipta alat musik tradisional Korea, geomungo. Kisahnya tercatat dalam Samguk Sagi, catatan sejarah tiga kerajaan Korea. Di sana diceritakan bahwa sebuah alat musik tujuh senar dari Dinasti Jin Tiongkok dikirim ke Kerajaan Goguryeo, tetapi saat itu tidak ada yang tahu cara memainkannya. Wang Sanak yang saat itu menjabat sebagai pejabat berpangkat bintang dua berhasil memainkannya, lalu menyempurnakan teknik pembuatannya hingga menciptakan lebih dari seratus lagu. Konon, saat ia memainkan alat itu, seekor bangau hitam datang dan menari-nari di atasnya, sehingga alat musik itu sempat disebut hyeonhakgeum atau kecapi bangau hitam.
Meskipun bentuk asli alat dari Tiongkok itu tidak diketahui secara pasti, beberapa sejarawan menduga bahwa Wang Sanak sebenarnya tidak mengubah alat dari luar negeri, melainkan menyempurnakan instrumen musik lokal Kerajaan Goguryeo. Kemampuan musik Wang Sanak yang luar biasa membuatnya dikenang sebagai sosok pejabat yang bijaksana sekaligus seniman sejati yang mampu menciptakan harmoni antara manusia, musik, dan alam.
Lagu berjudul Yeongsanhwesang 1 & 2 (영산회상 1장 & 2장) ini dimainkan dengan alat musik tradisional Korea ciptaan Wang Sanak, geomungo.
Pyeongyangga
Gyeonggijabga (경기잡가) atau lagu tradisional jabga dari Provinsi Gyeonggi terbagi menjadi dua jenis, yaitu seonsori taryeong yang dinyanyikan sambil menari dan jwachang yang dibawakan sambil duduk dengan tenang. Dalam lagu jwachang ada 12 lagu yang dikenal sebagai lagu shibijabga, salah satunya adalah Pyeongyangga (평양가) atau Lagu Pyeongyang. Lagu ini berkaitan erat dengan pepatah Korea yang mengandung pesan bahwa sesuatu yang tampak baik sekalipun, seperti jabatan gubernur, tak akan diterima jika tidak disukai (평양 감사도 저 싫으면 그만). Lagu ini bukan hanya sekadar menggambarkan keindahan Kota Pyongyang, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai pilihan hati dan kebebasan dalam menentukan kehendak.
Pyongyang sendiri merupakan kota bersejarah yang dulunya adalah ibu kota Kerajaan Goguryeo dan menjadi pusat kebudayaan Kerajaan Goryeo serta jalur penting diplomatik di masa Kerajaan Joseon. Keindahan alamnya dikenal melalui karya seni berjudul Pyeongyang Palgugyeong (평양팔구경) atau Delapan Pemandangan Indah di Pyongyang. Kebudayaan di kota ini berkembang berkat seringnya kunjungan para pejabat dan utusan asing. Salah satu ciri khas kota ini adalah keberadaan para gisaeng atau wanita penghibur yang dikenal akan kecantikan dan bakat seni mereka. Lagu Pyeongyangga menceritakan kisah cinta seorang gisaeng bernama Wolseoni. Lagu ini tidak hanya indah secara musikal, tetapi juga menyentuh secara emosional.