Negara-negara berkembang yang dianggap lebih kuat basis kondisi ekonominya, ternyata menerima dampak lebih besar dibandingkan negara berkembang yang kondisi ekonominya lemah, akibat pemangkasan dana stimulus moneter Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil penelitian lembaga ekonomi Amerika, Wall Street Journal mengabarkan hari Selasa kemarin (18/03/2014) waktu setempat bahwa setelah mantan kepala Bank Sentral AS Ben Bernanke mengisyaratkan mengeluarkan kebijakan tersebut pada bulan Mei tahun lalu, kejatuhan nilai mata uang dari negara berkembang yang ekonominya kuat menunjukkan 3 kali lipat lebih besar daripada negara berkembang yang lemah.
Lembaga ekonomi Amerika menerangkan banyak dana asing diinvestasikan di negara berkembang yang kondisi basis ekonominya kuat, seperti Korea Selatan, Israel dan Filipina. Namun, dikatakannya dana raksasa itu keluar akibat aksi pelonggaran kuantitatif Amerika Serikat.
Analisis tersebut berbeda dengan laporan sebelumnya bahwa dampak lebih serius diterima negara berkembang yang surplus transaksinya berjalan lamban dan jumlah cadangan devisa sedikit.
Sementara Bank Sentral AS diprediksi akan kembali memangkas dana stimulusnya sebesar 10 miliar dolar dalam rapat Komite Pasar Bebas Federal yang berlangsung tanggal 18 dan 19 Maret waktu setempat.