Pelapor Khusus PBB untuk Masalah Hak Asasi Manusia Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, menggelar konferensi pers pada Rabu (23/02) sebelum meninggalkan Korea Selatan setelah perjalanan dinas selama sembilan hari.
Selain menilai berbagai hal terkait masalah hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara, Quintana mengklaim masyarakat internasional harus menyediakan vaksin COVID-19 sebanyak 60 juta dosis untuk Korea Utara agar seluruh rakyat Korea Utara dapat menerima minimal dua dosis suntikan vaksin.
Ia menambahkan bahwa masyarakat internasional harus mempertimbangkan kondisi Korea Utara saat menyumbangkan vaksin COVID-19 karena adanya kecurigaan Korea Utara mengenai tekanan yang mungkin akan didapatkannya jika menerima bantuan vaksin dari masyarakat internasional.
Sebelumnya pada hari Selasa (22/02), Radio Free Asia (RFA) melaporkan bahwa Korea Utara diperkirakan akan menolak vaksin buatan Novavax sebanyak 252 ribu dosis dari Fasilitas COVAX.
Quintana menegaskan bahwa masyarakat internasional harus sesegera mungkin membuat keputusan terkait pasokan vaksin untuk Korea Utara, termasuk mengenai pembayaran vaksin.
Sementara itu, Pelapor Khusus PBB itu mendesak pemerintah Korea Selatan untuk mengungkap informasi terkait kasus seorang pejabat Kementerian Urusan Maritim dan Perikanan yang dibunuh oleh pasukan Korea Utara di Laut Barat pada tahun 2020 kepada keluarga almarhum.
Pada tahun lalu, pengadilan Korea Selatan memutuskan agar pemerintah memberikan informasi, kecuali informasi rahasia militer, kepada keluarga almarhum, tetapi pihak Kantor Kepresidenan Cheongwadae menolak keputusan tersebut dan mengajukan banding.
Terkait undang-undang larangan pengiriman selebaran anti-Pyongyang ke Korea Utara, Quintana mengatakan dirinya telah mengusulkan kepada pemerintah dan Majelis Nasional Korea Selatan untuk memulai proses peninjauan kembali undang-undang tersebut.
Quintana juga mengkritik pemerintahan Moon Jae-in yang telah selama tiga tahun tidak berpartisipasi sebagai negara pengusul bersama untuk resolusi HAM Korea Utara di PBB.
Ia menambahkan bahwa dirinya telah menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada perwakilan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Unifikasi Korea Selatan, dan mengatakan bahwa keputusan Korea Selatan untuk tidak menjadi negara pengusul tersebut mengirimkan pesan yang salah kepada Korea Utara.
Quintana menilai sanksi terhadap Korea Utara berdampak negatif bagi kondisi HAM masyarakat Korea Utara.
Menurutnya, walaupun sanksi itu tidak melarang bantuan kemanusiaan, tetapi secara nyata melarang impor pupuk dan peralatan pertanian yang mengakibatkan memburuknya produksi pertanian di Korea Utara.
Quintana yang meninggalkan Korea Selatan pada Kamis (24/02) akan membuat laporan HAM Korea Utara berdasarkan data-data yang dikumpulkan selama berada di Korea Selatan untuk dilaporkan ke Dewan Keamanan PBB pada bulan depan.