Sebuah komite gabungan antara pemerintah dan warga sipil, yang bertugas mencari sebuah solusi untuk kompensasi bagi para warga Korea Selatan korban kerja paksa Jepang saat masa penjajahan, menggelar rapat kedua pada hari Kamis (14/07).
Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Pertama Menteri Luar Negeri Cho Hyun-dong dan dihadiri oleh para perwakilan hukum para korban dan pakar dari berbagai bidang.
Pada 2018, Pengadilan Tinggi Korea Selatan secara terpisah memutuskan dua perusahaan Jepang, Nippon Steel Corporation dan Mitsubishi Heavy Industries, harus memberikan kompensasi kepada para korban. Namun demikian, kedua perusahaan menolak keputusan tersebut, sehingga pengadilan memerintahkan penyitaan aset mereka di Korea Selatan, yang akan mulai dicairkan pada musim gugur ini.
Dalam rapat hari Kamis (14/07) yang berlangsung selama dua jam 20 menit tersebut, para peserta rapat dilaporkan bertukar pendapat mengenai cara kompensasi bagi para korban saat perusahaan-perusahaan Jepang tersebut menolak menjalankan perintah pengadilan dan dibutuhkan pencairan aset mereka.
Komite itu dikatakan telah membahas pembayaran melalui subrogasi, di mana pihak ketiga menyediakan dana untuk membayar para korban atau pemerintah Seoul yang membuat pembayaran. Para korban dilaporkan mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang harus berpartisipasi jika dana serupa dibentuk.
Pihaknya juga membahas hak perlindungan diplomatik para korban, yang dituntut oleh para korban dalam rapat inaugurasi komite pada Senin (11/07) lalu.
Para korban meminta pemerintah Seoul untuk menggunakan hak perlindungan diplomatik agar mereka dapat menegosiasikan hal tersebut secara langsung bersama perusahaan-perusahaan Jepang, namun pejabat Kementerian Luar Negeri mengindikasikan bahwa kasus kompensasi yang melibatkan perusahaan swasta tidak termasuk dalam kasus di mana hak tersebut dapat diterapkan.
Pihak korban juga menyatakan keinginan mereka agar perusahaan-perusahaan Jepang tersebut, dan pemerintah Jepang, jika memungkinkan, harus membuat pernyataan maaf.
Sementara itu, kelompok-kelompok advokasi untuk dua orang korban kerja paksa Jepang, Yang Geum-deok dan Kim Seong-ju, sebelumnya mengatakan bahwa mereka memutuskan untuk memisahkan diri dari komite karena pihaknya menentang rencana pembayaran melalui subrogasi.