Terdapat analisis yang menyebut bahwa pengumuman foto fasilitas pengayaan uranium Korea Utara ke publik belakangan ini, merupakan bentuk isyarat potensi provokasi yang akan berlangsung setelah pemilu presiden Amerika Serikat bulan November mendatang.
Sydney A. Seiler yang merupakan mantan pejabat urusan Korea Utara di bawah National Intelligence Service menilai dalam pembicaraan daring oleh Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) pada hari Kamis (19/09) waktu setempat, bahwa Korea Utara melakukan provokasi untuk mempersiapkan waktu selama 4 tahun ke depan, bukan menghukum pemerintahan AS saat ini atau mempengaruhi hasil pemilihan.
Ditambahkan pula, provokasi skala besar seperti uji coba nuklir ke-7 akan dilaksanakan setelah pelantikan presiden baru di AS, dan publikasi fasilitas pengayaan uranium kali ini merupakan sarana yang menunjukkan kemungkinan provokasi tersebut.
Menurutnya, Korea Utara terus berfokus untuk meningkatkan kemampuan nuklir dari segi kuantitas dan kualitas setelah gagalnya negosiasi dengan AS tahun 2019 lalu, dan Korea Utara kemudian diketahui hampir tidak tercatat mengikuti upaya negosiasi yang ada dalam membatasi nuklir rezim tersebut.
Selain itu, seorang peneliti CSIS, Katrin Fraser Katz yang pernah menjabat sebagai penasihat urusan Asia di bawah Dewan Keamanan Nasional (NSC) di bawah pemerintahan mantan Presiden George W. Bush juga mengatakan bahwa uji coba nuklir ke-7 bukanlah 'kejutan' bulan Oktober oleh Korea Utara yang berlangsung sebelum pemilihan presiden AS.
Katz mengatakan bahwa uji coba nuklir menyinggung Cina dan Rusia, karena pelaksanaan uji coba nuklir itu membuat Cina terpaksa mengambil bagian dalam sanksi dunia internasional.
Ia menilai bahwa publikasi fasilitas pengayaan uranium Korea Utara merupakan sarana yang membanggakan kemampuan nuklir mereka sambil menjaga hubungan dengan Cina dan Rusia.