Penjabat Presiden Choi Sang-mok telah meminta Majelis Nasional untuk mempertimbangkan kembali tiga rancangan undang-undang (RUU) yang tengah diproses di parlemen.
Dalam sidang kabinet hari Selasa (21/01), Choi mengatakan bahwa ia memveto tiga RUU yang mencakup RUU Penyiaran, RUU Pembuatan UU Khusus tentang Pencabutan Masa Kedaluwarsa Tindak Kriminal Nasional Yang Melanggar HAM, dan RUU Pendidikan Dasar dan Menengah.
RUU Penyiaran adalah RUU yang mengatur tentang biaya langganan TV KBS dan tarif listrik yang digabungkan bersama oleh Korporasi Tenaga Listrik Korea (KEPCO). Dimana dalam RUU itu juga mencakup pembatalan pemisahan pengumpulan iuran penyiaran publik dari tagihan listrik rumah tangga.
Menurut Choi, sistem pemisahan iuran KBS dari tagihan listrik untuk setiap rumah tangga yang memiliki pesawat televisi telah dilakukan sejak bulan Juli tahun lalu, sehingga 15 juta unit rumah tangga telah mengikuti sistem tersebut.
Ditambahkan pula, jika iuran KBS kembali digabungkan dengan tarif listrik, maka hal tersebut akan mengganggu hak memilih masyarakat dan hak atas kekayaan masyarakat.
Choi mengklaim penyediaan sumber dana KBS yang stabil dapat diselesaikan dengan cara lain, bukan dengan memungut iuran KBS.
Selain itu, RUU Pembuatan UU Khusus tentang Pencabutan Masa Kedaluwarsa Tindak Kriminal Nasional Yang Melanggar HAM berisi tentang pencabutan masa kedaluwarsa penyelidikan terhadap tindak kriminal nasional yang melanggar hak asasi manusia, seperti memutarbalikkan bukti atau penggunaan wewenang secara berlebihan oleh lembaga penyidik.
Choi menyatakan bahwa masa kedaluwarsa penyelidikan terhadap tindak kriminal seperti pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan, harus dicabut. Namun hal tersebut tidak boleh diterapkan pada penggunaan wewenang oleh pegawai negeri, karena pegawai negeri yang menjalankan tugasnya dengan adil mengalami kerugian seperti gugatan, dakwaan, dan hal tersebut melemahkan kemampuan penanganan tindak kriminal nasional.
Sementara itu, RUU Pendidikan Dasar dan Menengah berisikan tentang buku elektronik atau digital termasuk kecerdasan buatan tidak bisa diadopsi sebagai buku pelajaran secara resmi.
Sehubungan dengan RUU tersebut, Choi menjelaskan bahwa kalangan pelajar kehilangan peluang untuk mempelajari teknologi digital yang mengandung big data, cloud, dan lainnya, serta melanggar nilai konstitusi yang memberikan peluang pendidikan tanpa diskriminasi, karena sejumlah pelajar dari sekolah di kota atau provinsi tertentu telah menggunakan teks digital.