Pergi ke Menu Pergi ke Halaman Utama
Go Top

Kumpulan Isu

Ketidakpuasan Jepang terhadap Kompensasi Korban Kerja Paksa Korea di Masa Perang

2019-05-24

Warta Berita

ⓒKBS News

Hubungan antara Korea Selatan dan Jepang tidak kunjung membaik. Pertemuan Menteri Luar Negeri antara kedua negara yang digelar di Paris pada tanggal 23 Mei lalu, hanya menunjukkan perbedaan pandangan kedua pihak. Khususnya buku diplomasi Jepang edisi tahun 2019, menghapus ungkapan yang ramah sehingga menimbulkan konflik yang lebih serius. Namun, upaya terus dilakukan sedikit demi sedikit, demi mencari jalan keluar permasalahan tersebut.


Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengangkat Cho Sei-young sebagai Wakil Pertama Menteri Luar Negeri Korea Selatan pada tanggal 23 Mei lalu. Cho dikenal sebagai tokoh yang memahami situasi Jepang di dalam kementerian luar negeri Korea Selatan. Cho pernah menjabat sebagai sekretaris kelas dua, ketua tim ekonomi, konsuler minister, dan lainnya di Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Jepang. Di kementerian luar negeri Korea Selatan, Cho juga pernah bekerja sebagai Kepala Bagian Urusan Perdagangan Asia Timur, dan Direktur Urusan Asia Timur Laut. Di bawah pemerintahaan mantan Presiden Kim Young-sam dan Kim Dae-jung, Cho bertugas sebagai penerjemah bahasa Jepang untuk sang Presiden. Karena itu, dia menjalani berbagai jabatan utama yang kerap kali berurusan dengan Jepang hingga saat ini.


Di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae-in, Wakil Pertama Menteri Cho Sei-young turut mengambil bagian sebagai wakil ketua, dalam Satuan Tugas pemeriksaan kesepakatan wanita perbudakan syahwat antara Korea Selatan dan Jepang. Pada bulan September tahun lalu, dia diangkat sebagai Kepala Badan Urusan Diplomatik Nasional dan kembali menjadi wakil menteri dalam waktu delapan bulan.


Banyak pihak yang memperhatikan pandangan Cho mengenai masalah kerja paksa terhadap warga Korea oleh Jepang di masa perang. Cho pernah mengatakan bahwa “kita harus mengakui keberadaan kerangka tertentu, walaupun kerangka itu belum sempurna”, ketika dia menjabat sebagai Kepala Badan Urusan Diplomatik Nasional pada bulan Desember lalu. Ditambahkan pula, kita harus mempertimbangkan cara untuk memecahkan masalah yang tidak mampu ditangani oleh kerangka tersebut.


Pernyataan Cho ditafsirkan bahwa pemerintah Seoul perlu mengakui 'kerangka' terkait perjanjian antara Korea Selatan dan Jepang pada tahun 1965, dan mencari jalan keluarnya. Melalui perjanjian tersebut, Jepang memberikan dana bersyarat kepada Korea Selatan. Karena itu, Jepang mengklaim bahwa kompensasi para korban kerja paksa di Korea Selatan telah selesai. Di sisi lain, Korea Selatan mengklaim bahwa hak tuntutan ganti rugi oleh perorangan tidak dihapuskan.


Selain itu, ada berita yang berisi pejabat pemerintah Seoul bertemu dengan pihak korban kerja paksa oleh Jepang. Media Jepang NHK melaporkan pada tanggal 23 Mei lalu bahwa pejabat pemerintah Seoul bertemu dengan para korban kerja paksa untuk menanyakan apakah mereka dapat menunda proses penjualan aset perusahaan Jepang di dalam Korea Selatan. Setelah Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan keputusan untuk memberikan kompensasi kepada korban kerja pasa di Korea Selatan, Jepang tidak mematuhi keputusan tersebut, sehingga aset perusahaan Jepang di Korea Selatan telah disita. Namun, pihak para korban tidak menerima permintaan pemerintah Seoul. NHK mengabarkan bahwa upaya tersebut dilaksanakan oleh pemerintah Seoul untuk mencari jalan keluar dalam hubungan antara kedua negara.


Tampaknya hubungan antara Korea Selatan dan Jepang terasa tetap membeku dan sulit untuk menemukan jalan keluarnya. Namun, yang terpenting adalah aktifnya upaya untuk memecahkan masalah tersebut.

Pilihan Editor

Close

Situs kami menggunakan cookie dan teknologi lainnya untuk memberikan Anda layanan yang lebih baik. Dengan terus menggunakan situs ini, Anda menyetujui penggunaan teknologi ini dan kebijakan kami. Detail >