Pergi ke Menu Pergi ke Halaman Utama
Go Top

Budaya

Byeoreul Boda / Baktaryeong, Dontaryeong / Bori Tajak Sori

#Citra Musik Korea l 2025-05-23

Citra Musik Korea

Byeoreul Boda / Baktaryeong, Dontaryeong / Bori Tajak Sori
Byeoreul Boda
Di antara jutaan bintang yang menghiasi langit malam, ada satu gugus bintang yang sangat mudah dikenali, bahkan oleh mata awam sekalipun. Gugus ini disebut rasi bintang biduk atau dalam bahasa Korea dikenal sebagai bukduchilseong (북두칠성) yang berarti 'tujuh bintang utara'. Sejak ribuan tahun silam, rasi bintang ini telah menjadi penunjuk arah yang sangat penting. Gugus bintang ini juga menyimpan makna spiritual yang mendalam dalam sejarah budaya Korea. Dalam kepercayaan masyarakat Korea kuno, rasi bintang ini diyakini sebagai pengatur takdir manusia, penentu umur, dan nasib seseorang. Bintang ini juga dipuja sebagai dewa pemberi rezeki dan pengendali hujan, hal yang sangat penting bagi masyarakat agraris pada masa itu. 
Setiap pagi, para ibu akan meletakkan semangkuk air di atas gentong besar sambil memanjatkan doa kepada rasi bintang ini. Mereka berharap keluarga mereka senantiasa diberi kesehatan dan kedamaian. Keyakinan terhadap kekuatan bintang biduk ini bahkan terus hidup meskipun agama Buddha masuk ke Korea. Beberapa kuil Buddha menyediakan ruang khusus untuk memanjatkan doa kepada bintang biduk. Jejak-jejak penghormatan terhadap rasi bintang ini pun dapat ditemukan pada dolmen zaman perunggu dan lukisan dinding makam kuno dari era kerajaan Goguryeo. Lagu berjudul Byeoreul Boda adalah lagu yang mengisahkan seorang wanita yang bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama. Ia memohon kepada sang bintang biduk agar malam pertemuannya dengan kekasihnya tidak cepat berlalu.

Baktaryeong, Dontaryeong
Gong Daeil (공대일) adalah maestro pansori yang mungkin kini tak banyak dikenal di Korea. Lahir tahun 1911 dari keluarga seniman, Gong tumbuh dalam kesulitan setelah kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan dibesarkan oleh sang nenek. Pada masa itu, profesi seniman dipandang rendah dan identik dengan kemiskinan, tetapi Gong tetap menekuni dunia seni. Karena keterbatasan ekonomi, ia tak pernah belajar secara formal dari satu guru, melainkan berpindah-pindah dari satu pengajar ke pengajar lain, hanya mempelajari satu atau dua lagu dari mereka. Meski Gong tak mampu menampilkan pertunjukan pansori secara utuh seperti seniman lain, tetapi dari keterbatasan itu ia berhasil menciptakan gaya khasnya sendiri, sebuah gabungan unik dari berbagai gaya yang pernah ia pelajari.
Keunikan gaya pertunjukan Gong Daeil membuatnya diakui sebagai pelestari warisan budaya tak benda Provinsi Jeolla Selatan untuk pertunjukan Heungboga. Sayangnya, meski memiliki ciri khas yang kuat, gaya Gong tidak diwariskan secara langsung kepada murid atau keturunannya. Ia hampir tak pernah merekam atau merilis album, sehingga peninggalan seni yang ia bangun nyaris hilang bersama kepergiannya. Kini hanya rekaman-rekaman langka seperti lagu Baktaryeong dan Dontaryeong yang menjadi saksi hidup dari seorang maestro yang membentuk gaya pansorinya sendiri dalam keterbatasan.

Bori Tajak Sori
Sekilas biji jelai dan padi tampak sangat mirip, tetapi cara menanamnya sangat berbeda. Di negara beriklim empat musim seperti Korea, padi ditanam pada musim semi dan dipanen menjelang musim gugur, sementara jelai atau barli yang merupakan tanaman musim dingin ditanam pada musim gugur dan dipanen saat musim semi. Uniknya, saat tanaman lain mengering di musim dingin, jelai justru tumbuh subur dalam suhu rendah. 
Setelah dipanen, biji jelai dijemur di bawah sinar matahari sebelum dipisahkan dari kulitnya menggunakan alat tradisional bernama dorikkae (도리깨). Proses menumbuk jelai ini menjadi kegiatan masyarakat pedesaan yang dijelaskan dalam puisi karya penyair era Joseon, Jeong Yakyong. Dalam puisi itu digambarkan bagaimana orang-orang menumbuk jelai sambil bernyanyi dan minum makgeolli, arak putih khas Korea, sebagai bagian dari perayaan hasil panen. Lagu-lagu panen seperti Bori Taak Sori (보리타작소리) atau Lagu Menumbuk Jelai yang berasal dari Kabupaten Wando di Provinsi Jeolla Selatan, menjadi warisan budaya tak benda yang terus hidup dan membawa gema suara ladang ke masa kini.

Pilihan Editor

Close

Situs kami menggunakan cookie dan teknologi lainnya untuk memberikan Anda layanan yang lebih baik. Dengan terus menggunakan situs ini, Anda menyetujui penggunaan teknologi ini dan kebijakan kami. Detail >