Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, mengatakan dia ikut terluka bagi wanita Korea yang dipaksa menjadi budak syahwat Jepang selama Perang Dunia Kedua.
Abe membuat komentarnya dalam wawancara dengan Washington Post di Tokyo menjelang pidatonya di pertemuan bersama Senat dan DPR AS pada tanggal 29 April, juga merupakan yang pertama bagi seorang pemimpin Jepang.
Abe menyebut wanita penghibur paksa sebagai mereka yang menjadi "korban perdagangan manusia dan pergi dengan hati terluka dan penderitaan tak terperikan."
Wawancara juga mengutip seorang pembantu dekat perdana menteri, yang mengatakan itu adalah pertama kalinya Abe menggunakan kata "perdagangan manusia" yang menggambarkan perbudakan syahwat di negaranya.
Abe juga mengatakan kabinetnya menguatkan sikap pemerintahan sebelumnya secara keseluruhan, termasuk Pernyataan Murayama yang meminta maaf pada tahun 1995 atas kerugian dan penderitaan yang disebabkan Jepang kepada negara tetangganya di Asia dan Pernyataan Koizumi pada tahun 2005 yang menyatakan Jepang tidak akan pernah lagi mengambil jalan perang.
Dia menambahkan kabinet saat ini telah membuat jelas bahwa mereka tidak meninjau Pernyataan Kono 1993, saat pemerintah Jepang memohon maaf dan mengeluarkan penyesalan yang tulus kepada semua orang yang menderita sebagai wanita penghibur.
Selama wawancara, Abe menambahkan bahwa para politisi harus rendah hati dalam menghadapi sejarah.
Namun, perdana menteri gagal memperjelas keterlibatan pemerintah Jepang dalam perdagangan wanita, meninggalkan ruang bagi berlanjutnya kontroversi.