Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada hari Jumat (27/12/19) menolak petisi yang diajukan oleh sekelompok korban perbudakan syahwat yang mengklaim bahwa perjanjian kontroversial dari pemerintahan mantan presiden Park Geun-hye dengan Jepang untuk menyelesaikan masalah tersebut melanggar hak konstitusional mereka dengan mencegah mereka meminta kompensasi dari pemerintah Jepang.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengatakan kesepakatan Korea Selatan dan Jepang pada tahun 2015 adalah perjanjian politik dan tidak memengaruhi hak pribadi korban perbudakan syahwat, sehingga merupakan subyek yang di luar peninjauan mereka.
Mahkamah menjelaskan kesepakatan tersebut dilakukan secara lisan dan tidak dijalankan proses penandatangan berdasarkan undang-undang dasar. Ditambahkannya, kesepakatan Korea Selatan dan Jepang itu tidak menyebut waktu, cara, dan tanggung jawab dalam pembentukan yayasan untuk membantu korban perbudakan syahwat dan pemberian dana dari pemerintah Jepang.
Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menilai kesepakatan Korea Selatan dan Jepang mengenai masalah wanita perbudakan syahwat tidak boleh dianggap sebagai perjanjian yang berkekuatan hukum.
Dilanjutkan bahwa kesepakatan Korea Selatan dan Jepang tersebut tidak memengaruhi kedudukan hukum para korban perbudakan syahwat sehingga pihaknya memandang bahwa kesepakatan tersebut tidak akan mengganggu hak korban termasuk hak permintaan kompensasi.