Sebuah pertunjukan sandiwara dipanggungkan di sebuah teater kecil, di Daehakno, pusat kota Seoul mulai tgl. 20 hingga tgl. 22 Oktober. Dengan judulnya ‘Bunga Azalea di Punggye-ri’, itu merupakan sandiwara teater yang ketiga yang dipentaskan oleh sebuah LSM ‘Organisasi Untuk Korea yang Bersatu’, menyusul pementasan drama pertama tahun 2014 dan juga di tahun 2016.

Punggye-ri adalah nama situs tes nuklir Korea Utara yang terletak di kabupaten Kilju, Provinsi Hamgyeong Utara. Telah muncul spekulasi terus menerus bahwa penduduk setempat di daerah itu terpapar radiasi. Sandiwara menggambarkan kehidupan keluarga Korea Utara dan suasana suram di situs tersebut, dimana penyakit tak dikenal dan tak dapat disembuhkan, yang dikenal secara lokal sebagai ‘penyakit hantu’ sedang menyebar. Pemeran utama perempuan Soo-hee melintasi perbatasan Cina untuk mendapatkan uang dan menyelamatkan anak laki-lakinya yang menderita ‘penyakit mistis’. Di Cina, dia menjadi korban perdagangan orang. Dia dipaksa untuk membawa narkoba dan entah bagaimana datang ke Korea Selatan dimana dia melakukan sesuatu yang berisiko bagi suami dan anaknya di Utara. Sayangnya dia ditahan dan anaknya meninggal.

Penampilan aktor Korea Selatan dan Korea Utara di atas panggung bersama-sama, juga merupakan daya tarik dalam sandiwara itu. Pada awalnya, mereka tidak mengenal satu sama lain. Tapi begitu mereka saling mengenal dengan lebih baik, lalu mereka merasa seperti teman dekat atau keluarga mereka. Apa yang dirasakan aktor tentang unifikasi yang disampaikan kepada penonton secara jelas. Para penonton berkesempatan untuk lebih memahami pembelot yang mempertaruhkan nyawa untuk melarikan diri dari negara asalnya dan memiliki waktu sulit untuk bermukim di Korea Selatan. Mereka juga memikirkan perlunya unifikasi sekali lagi.