© YONHAP News

Rencana pemerintah untuk memperluas sistem jam kerja fleksibel muncul sebagai isu hangat dalam dunia ekonomi Korea. Sesuai dengan revisi UU standar tenaga kerja Korea, perusahaan publik dan swasta dengan 300 pekerja atau lebih mulai memangkas jam kerja mingguan maksimum mereka dari 68 menjadi 52 pada tgl.1 Juli. Kebijakan ketenagakerjaan yang baru akan menghadapi kritik dan protes karena gagal mencerminkan situasi nyata dari beberapa industri yang membutuhkan sistem kerja terus menerus. Sebagai kebijakan pelengkap, sistem jam kerja fleksibel kemudian diperkenalkan. Titik utama dalam perdebatan adalah pada periode sistem. Saat ini, waktu kerja fleksibel paling banyak dibatasi hingga dua minggu atau tiga bulan. Tetapi perusahaan lokal mengatakan tiga bulan terlalu pendek, dengan meminta pemerintah untuk memperluas periode tersebut.

Konfederasi Serikat Pekerja Korea mengatakan sistem yang diperpanjang dapat menyebabkan penurunan 7 persen dalam penghasilan pekerja dan menimbulkan risiko kesehatan karena menghadapi beban kerja yang lebih berat. Serikat pekerja berpendapat bahwa skema kerja fleksibel yang diperluas akan menormalkan jam kerja yang lebih panjang tanpa upah lembur. Hal itu memiliki risiko menyebabkan kerusakan kesehatan para pekerja, bertentangan dengan tujuan sistem 52 jam kerja seminggu. Bagi Korea, perlu untuk memeriksa kasus-kasus di luar negeri dan mengurangi efek samping dari perpanjangan sistem jam kerja yang fleksibel untuk menemukan solusi akhir yang saling mengutungkan.

Sebuah dewan penasehat diluncurkan pada tgl.22 November dengan tujuan mencoba dialog urusan ekonomi antara masyarakat dan tenaga kerja. Topik-topik diskusi utama dari dewan multilateral termasuk perluasan sistem jam kerja fleksibel dan cara-cara untuk menciptakan peluang kerja dalam industri yang berbeda. Kami akan menantikan dan melihat langkah apa yang akan diambil dewan baru tersebut.