Seorang nenek korban perbudakan syahwat, Lee Yong-soo, mengungkapkan kemarahannya atas keptusan pengadilan Korea Selatan yang menolak gugatan ganti rugi kedua yang diajukan oleh para korban perbudakan syahwat di masa Perang Jepang dan keluarga mereka pada hari Rabu (21/04).
Sebelumnya, para korban menegaskan dalam proses peradilan itu bahwa gugatan tersebut merupakan sarana terakhir yang mereka miliki untuk memulihkan harkatnya sebagai manusia.
Namun, pihak pengadilan menyebut kesepakatan Korea Selatan dan Jepang tahun 2015 sebagai sarana pemulihan hak para korban, dan bukan melalui gugatan pengadilan.
Pengadilan juga menyatakan sebanyak 99 orang dari 240 korban perbudakan syahwat telah menerima bantuan dana pemerintah Jepang sejumlah satu miliar yen.
Menurutnya, sembilan dari 16 orang yang mengajukan gugatan ganti rugi itu pun telah mendapat bantuan dana sebanyak 66 juta won.
Pengadilan memaparkan bahwa walau pemerintah Korea Selatan tidak mendapat persetujuan dari para korban atas kesepakatan Korea Selatan dan Jepang tersebut, namun sebagian besar korban telah menerima dana bantuan tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan yang dilakukan antara kedua negara tersebut tidak dapat dikatakan tidak disetujui oleh para korban.
Di sisi lain, Presiden Moon Jae-in pada Januari 2018 secara langsung meminta maaf kepada para korban perbudakan syahwat karena kesepakatan tersebut tidak disetujui oleh para korban secara penuh.
Para korban menyatakan akan segera naik banding karena pihaknya tidak dapat memahami keputusan pengadilan tersebut.
Pihak kuasa hukum penggugat menilai keputusan pengadilan baru-baru ini bertentangan dengan hak asasi manusia internasional.