Homuga
Di Korea ada sebuah pepatah yang mengatakan, "Bertani, tetapi tidak tahu pematang," yang menggambarkan seseorang yang masih pemula atau belum paham dasar-dasar suatu hal. Pepatah ini berakar dari kehidupan para petani yang mengenal betul perbedaan antara pematang dan alur sawah. Pematang adalah bagian sawah yang lebih tinggi tempat tanaman ditanam, sementara alur sawah adalah bagian yang lebih rendah seperti parit yang berfungsi mengalirkan air hujan dan menjadi jalur para petani saat merawat tanaman. Kedalaman dan bentuk alur sangat penting dalam pertanian karena dapat menentukan keberhasilan panen. Bahkan ada pepatah lain yang mengatakan, "Di setiap alur itu ada rezeki," yang menunjukkan bahwa kerja keras dan ketelitian petani tidak pernah sia-sia.
Meskipun pematang dan alur sudah dibuat bagus, setiap tahun itu harus dibuat ulang. Karena itu, ada lagi pepatah Korea yang mengatakan, “Pematang bisa jadi alur dan alur bisa jadi pematang.” Artinya posisi atau keadaan seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Pepatah ini memberi pelajaran berharga tentang hidup, baik sebagai harapan bagi mereka yang sedang mengalami masa sulit maupun sebagai peringatan bagi yang terlalu percaya diri agar tetap rendah hati.
Shimbongsa Nun Tteuneun Daemok
Sosok maestro pansori legendaris Korea, Jo Sanghyeon (조상현), lahir pada tahun 1939 di Boseong, Provinsi Jeolla Selatan. Sejak kecil, Jo menunjukkan minat terhadap seni dan sempat belajar huruf Cina klasik sebelum akhirnya serius menekuni pansori pada usia 12 tahun di bawah bimbingan penyanyi ternama, Jeong Eungmin (정응민). Jeong yang sempat berkiprah di Seoul kembali ke kampung halamannya untuk mengajar pansori dan melahirkan banyak penyanyi hebat. Setelah berlatih selama tujuh tahun, Jo pindah ke Seoul dan menjadi anak angkat penyanyi Park Nokju, serta mulai tampil bersama Kelompok Teater Changgeuk Nasional.
Karier Jo Sanghyeon melejit setelah memenangkan beberapa kompetisi besar, seperti Festival Chunhyang tahun 1974 dan lomba Jeonju Daesaseupnori tahun 1976. Ia dikenal memiliki penampilan karismatik, suara menggelegar, serta pembawaan jenaka yang memikat penonton. Penyebaran televisi pada era 1970-an sampai 80-an membuat Jo Sanghyeon makin dikenal luas sebagai bintang besar pansori. Bahkan di usia 85 tahun, ia masih tampil di atas panggung dan menginspirasi generasi muda.
Boheoja
Di Korea istilah eumak (음악) biasanya merujuk pada musik Barat, sedangkan musik tradisional Korea disebut gugak (국악) yang secara harfiah berarti musik nasional. Perbedaan penyebutan ini membuat seolah-olah musik tradisional memiliki lingkup yang lebih sempit. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, batas antara musik modern dan tradisional makin kabur, ruang kolaborasi kedua musik ini makin luas dan harapan masa depan musik tradisional Korea menjadi lebih baik.
Pengaruh musik asing di Korea sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Goryeo ketika Dinasti Song dari Tiongkok mengirimkan alat musik, pemain, dan partitur ke Korea. Salah satu musik yang dibawa dan masih bertahan hingga kini adalah Boheoja (보허자) yang berarti berjalan di atas udara. Musik ini berasal dari ritual Taoisme dan menggambarkan dewa yang naik ke langit. Selama hampir seribu tahun, Boheoja dimainkan dalam upacara kenegaraan dan dalam prosesnya berubah menjadi bagian dari identitas musik Korea. Liriknya berupa puisi klasik Tiongkok yang berisi harapan umur panjang raja, kesejahteraan rakyat, dan kejayaan kerajaan.